Jumat, 12 April 2013

ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH


SIRA  Online : Pendidikan semestinya tangga menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, bagaimana jika tangga itu saja sulit didekati karena dikelilingi gerbang dan jebakan kemiskinan?
 Inilah yang masih terjadi di Tanah Air. Kemiskinan bahkan sampai membuat anak bangsa putus asa dan mengakhiri hidup.
 Rabu (10/4) di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, seorang remaja putri meninggal dunia dengan memendam malu karena tidak bisa meneruskan sekolah ke SMP negeri akibat ketiadaan biaya. Setelah setahun harapan bersekolah tidak juga terwujud, ia akhirnya menenggak racun serangga.
 Peristiwa itu hanya berselang sekitar sebulan dari kasus serupa di Lampung Selatan. Seorang siswa SMA bunuh diri karena belum melunasi uang ujian tengah semester.
 Kejadian berulang itu merupakan bukti pemerataan ekonomi demi mengentaskan rakyat dari kemiskinan masih jauh panggang dari api. Sampai-sampai demi mendapatkan hak dasar pendidikan, sebagian rakyat tak kuasa memenuhinya.
 Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dijalankan pemerintah pusat ataupun pendidikan gratis yang dijanjikan banyak kepala daerah sudah baik. Namun, itu hanya menyelesaikan sebagian kecil persoalan. Ia belum efektif membantu masyarakat miskin.

 Salah satu sebabnya ialah komponen biaya pendidikan bukan hanya SPP. Untuk berangkat ke sekolah, seorang siswa tentu harus merogoh kocek. Belum lagi biaya seragam, sepatu, atau buku sekolah.

 Sejumlah sumbangan yang diminta sekolah bisa begitu beragam dan kreatif, mulai dari biaya kartu siswa, biaya piknik, pembangunan tempat ibadah, ruang tunggu, hingga pot kembang.

 Di Polewali Mandar, beberapa orangtua mengaku harga sepasang seragam bisa mencapai Rp100 ribu. Meski dikatakan tidak wajib, bagi anak usia sekolah, tidak berseragam, tidak bersepatu, atau tidak bisa turut serta dalam kegiatan sekolah sudah cukup membuat mereka minder.

 Pada akhirnya biaya yang harus dikeluarkan siswa bahkan bisa menyaingi biaya pokok pendidikan. Esensi pendidikan pun terkaburkan oleh segala hal-hal fisik yang belum tentu meningkatkan kualitas akademis.
 Yang jelas, rupa-rupa biaya itu makin meletakkan si miskin pada posisi terjepit. Pendidikan, yang mestinya merupakan gerbang menuju kehidupan yang lebih sejahtera, justru bisa menjadi petaka bagi si miskin.
 Hal seperti itu tentunya tidak dapat diremehkan pemerintah. Kejadian tewasnya anak didik juga merupakan potret ketimpangan pembangunan di berbagai daerah. Kesenjangan yang kian menganga tidak boleh hanya dipoles dengan statistik demi mengamankan citra. Fakta bahwa kemiskinan masih menjadi momok tidak boleh disembunyikan.
 Untuk apa anggaran pendidikan melimpah jika masih ada anak bangsa sulit sekolah? Ungkapan orang miskin dilarang sekolah masih menjadi kenyataan di negara yang membangga-banggakan pertumbuhan ekonomi ini.
 Saatnya kita semua jujur. Jujur menerima kenyataan ialah awal terurainya persoalan. Karena itu, akui saja bahwa ketimpangan ekonomi memang terjadi. Akui juga bahwa kemiskinan di negeri ini masih membelit dan kerap mengundang tragedi. Dengan pengakuan yang jujur, solusi akan lebih mudah dicari sehingga tragedi pun bisa segera diakhiri.(miol/direlsira}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar