Rabu, 10 April 2013

Menjerakan Pegawai Pajak Korup

Penangkapan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Pusat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan penerimaan suap kian membuktikan sejumlah hal.

 Pertama, penangkapan itu menandakan hukuman atas tindak pidana korupsi belum menghasilkan efek jera. Padahal, penangkapan pada Selasa (9/4) itu bukan kali pertama untuk pegawai pajak, melainkan sudah yang kelima kali.

 Modus dan caranya beragam, tapi tetap saja 'keberanian' untuk bermain fulus di lorong remang-remang seolah ingin menantang bahwa hukum pun kelak bisa mereka taklukkan. Para pelaku pasti akan dihukum, tapi tak lantas menjadi miskin setelah hukuman berakhir karena memang peradilan tindak pidana korupsi belum sepenuhnya berminat memiskinkan koruptor.
 Kedua, penangkapan atas pegawai pajak itu sekaligus juga menegaskan bahwa perilaku korup sudah benar-benar bermetamorfosis. Korupsi bukan lagi sekadar by need, atau didorong oleh kebutuhan, melainkan telah menjelma menjadi kerakusan.

 Pada titik itu, segala bentuk remunerasi kepada penyelenggara negara tak cukup menahan laju kerakusan. Lihatlah betapa tingkat remunerasi yang diberikan kepada pegawai pajak termasuk yang cukup tinggi di instansi pemerintahan. Toh, itu bukan obat mujarab mengerem ketamakan.

 Selama sistem penjeraan atas koruptor tidak dibangun secara komprehensif, jangan terlalu bermimpi laju korupsi akan benar-benar berhenti. Upaya keras yang dilakukan KPK untuk menangkapi perampok uang negara menjadi sia-sia jika toh nantinya para koruptor dihukum ringan.

 Ketiga, penangkapan aparat pajak dalam kasus dugaan suap kian menambah apati masyarakat dalam membayar pajak. Apati muncul karena rakyat belum menerima timbal balik berupa fasilitas publik yang memadai atas pajak yang mereka bayarkan.

 Alih-alih memperbaiki timbal balik itu, yang terjadi justru masih munculnya aksi patgulipat aparat dan wajib pajak untuk menegosiasikan angka-angka. Tidak mengherankan bila masih muncul pikiran-pikiran untuk memboikot pembayaran pajak kendati itu bukan langkah yang dibenarkan.

 Maka, kerja keras menangkap aparat pajak yang diduga 'berselingkuh' dengan pembayar pajak mesti dibarengi dengan sanksi pemberatan. Dengan hukuman yang berat, efek jera akan tumbuh.

 Kita mengapresiasi langkah Ditjen Pajak melaporkan sendiri aparatnya yang diduga nakal ke KPK. Kita juga mengapresiasi KPK yang tak kenal lelah mengejar dan menindak penyelenggara negara yang korup, di tengah perlawanan sengit para koruptor.

 Kemampuan menjerat pejabat yang diduga korup jelas dimiliki KPK karena lembaga antirasywah itu punya hak khusus untuk menyadap. Maka, siapa pun yang merasa korupsi ialah musuh mestinya mendukung penuh hak KPK untuk menyadap, bukan malah membonsainya dengan rupa-rupa aturan.

 Berkali-kali kita ingatkan bahwa perang melawan korupsi bukanlah perang yang mudah. Jalan menuju Indonesia bebas korupsi jelas amat terjal dan berliku.

 Karena itu, dibutuhkan komitmen, kerja keras, dan konsistensi luar biasa untuk menjalankan amanah itu. KPK sudah punya modal melakukan itu. Tinggal rakyat yang mesti terus mengawasi dan memberikan dukungan penuh.(direlsira-metvonline)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar