Kamis, 28 Februari 2013

Editorial : Berantas Korupsi, bukan Sprindik

PERANG melawan korupsi di negeri ini dilakukan tidak sepenuh hati. Para elite, politikus, dan aktivis sering mendua hati ketika bersua dengan kasus korupsi yang membelit keluarga, kerabat, dan sahabat mereka.

Korupsi yang mestinya menjadi urusan hukum digiring ke ranah politik. Akibatnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bulan-bulanan dan sasaran tembak.

Setiap kali menetapkan politikus menjadi tersangka korupsi, lembaga antirasywah itu dituding melakukan konspirasi atau diintervensi. Tuduhan seperti itu hendak mengatakan betapa rapuhnya KPK sehingga begitu mudah menyerah pada agenda titipan pihak lain.

Tudingan bahwa KPK berkonspirasi, diintervensi, atau melakukan tebang pilih sarat dengan agenda tersembunyi. Para penuduh seakan hendak mengacaukan agenda pemberantasan korupsi menjadi agenda politik.

Kita khawatir KPK tersandera oleh agenda-agenda politik. Kita khawatir KPK larut dan terseret dalam alur permainan pihak luar yang menghendaki agar agenda pemberantasan korupsi terbengkalai. Kita lebih khawatir ada komisioner KPK berjabat tangan dengan pihak luar kemudian larut dalam genderang politik yang ditabuh pihak lain.

Salah satu kesibukan KPK saat ini ialah membentuk Komite Etik untuk menyelidik dugaan keterlibatan pimpinan KPK dalam kasus bocornya draf surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Anas Urbaningrum.
Kita berharap pembentukan Komite Etik itu sepenuhnya agenda KPK, bukan agenda politik yang diintroduksi pihak lain.
Dalam draf sprindik yang bocor itu Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang. Sejumlah kalangan mendesak agar kasus bocornya draf sprindik diselidiki Polri.


Pimpinan yang membocorkan juga harus dipecat dari KPK. Alasannya membocorkan draf sprindik bukan wilayah etika, melainkan pidana.
Draf sprindik itu belum bernomor, juga tidak bertanggal. Menurut Widodo Umar, pakar kepolisian Universitas Indonesia, meski itu asli milik KPK, draf sprindik belum tergolong dokumen resmi. Juga tidak ada kerugian materiil yang ditimbulkan. Karena itu, tidak ada unsur kriminalitas dalam bocornya sprindik tersebut. Intinya, hal itu tidak mengandung unsur pidana.

Lebih memprihatinkan, kini berhembus kabar bahwa ada agenda mendepak pimpinan KPK dengan memanfaatkan hasil Komite Etik itu. Jika terjadi, itu menjadi bukti bahwa KPK direcoki agenda politik. Politik yang keras, penuh intrik dan fitnah, segera mengotori KPK.

Berkali-kali kita ingatkan bahwa tugas utama KPK ialah memberantas korupsi. KPK mesti fokus pada tugas itu dan mengabaikan segala kerja sambilan, apalagi yang merongrong KPK sendiri. Di tengah jumlah penyidik yang kurang, di tengah korupsi yang merajalela, KPK mesti fokus pada agenda pemberantasan korupsi, bukan politisasi.
Kultur politik yang penuh intrik, fitnah, dan friksi semestinya tidak boleh tumbuh di KPK. Satu-satunya budaya yang boleh hidup dan disuburkan di KPK hanyalah pemberantasan korupsi.

Kita ingatkan agar KPK tidak menari mengikuti irama dan genderang orang lain. Lebih dari itu, KPK tidak boleh menggadaikan hati nurani kepada orang lain, apalagi kepada para koruptor dan kaki tangan mereka.(Relsira/Miol)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar